after 21 tahun.
Di blog kali ini, aku akan menceritakan dan meluapkan beberapa keresahaanku selama aku menginjak usia 20an ini. Di dunia yang kesannya buru-buru banget ini, kita dituntut oleh banyak hal. Dari harus sukses sebelum usia 25 tahun, punya rumah sendiri sebelum menikah, gaji sekian di usia 20an, apalah segala macem. Sebelum usia 21 tahun ini, aku pribadi sudah diberikan sebuah tanda kepercayaan untuk mendengarkan segala keluh kesah mereka yang sudah memasuki life after marriage. Dari sekian banyaknya cerita dan keluh kesah dari mereka, atau bahkan aku yang melihat secuil kehidupan itu secara langsung. Hal itu yang sedikit merubah cara pandangku saat ini terutama bagi seorang perempuan. Aku akan merubah standarisasi terkait dengan menikah yang katanya usia 21 tahun lah bagi perempuan, nanti jadi perawan tua lah, segala macem. Justru kesiapan menikah yang sesungguhnya adalah ketika kamu sudah siap, baik secara mental, ekonomi, bahkan fisik. Sebenarnya kalo kita bicara terkait dengan usia, ngga ada patokan sih selagi siap dan mau aja.
Gini deh, kita bedah satu-satu, realitanya semua keputusan yang kita ambil di dunia ini itu udah pasti ada resikonya ngga sih? Sesimpel naik kendaraan, naik pesawat takut jatuh, naik kapal takut tenggelam, naik kendaraan darat takut tabrakan. Semua pasti ada konsekuensinya, mau se terplanning apapun kita, mau se hati-hati apapun kita, kita ngga bisa ngontrol hal yang diluar kendali kita kan? Jadi gini, kalo misalkan kita ngomongin soal menikah dan semua pencapaian di dunia ini, semua itu tergantung jalan dari masing-masing individu ngga sih? Kita hidup di lingkaran society yang dimana mengharuskan semuanya harus terlaksana sesuai dengan patokan umur. Bahkan hal itu terjadi ketika kita hidup bersamaan dengan penganutan orang tua kita terkait dengan standarisasi itu.
Gini, kalo ngomongin soal menikah, di lingkunganku sering terjadi mereka menikah di usia sudah matang, tapi dari segi mental, ekonomi itu belum stabil. Ada juga mereka yang menikah di usia ya bisa dibilang masih muda lah ya, tapi dia udah punya segalanya, mental mungkin oke, ekonomi oke. Dari sini, umur tidak menjadi penentu untuk orang itu punya segalanya, tapi setidaknya dari sini bukan berarti kita menjadi orang yang ogah-ogahan akan hal itu, usaha lah gimana caranya. Kalo ngomongin perihal pencapaian, misalkan nih di usia yang cukup matang tapi belum memiliki apa-apa, intinya ya ngga ada pencapaian apa-apa. Disini kita harus berpikir dari dua sisi, pertama adalah kita harus melek dan sadar bahwa kita hidup di lingkaran society yang emang serba buru-buru, dan harus sadar bahwa kita dikejar dengan usia orang tua. Even orang tua kita nggak banyak nuntut apa-apa, tapi logikanya balas budi sebagai seorang anak pasti harus terealisasikan, kan?
Sekarang kita kembali lagi ke persoalan menikah, ya semua itu pasti ada resikonya, mau nikah sesuai standart umur yang ada di Indo kaya 21 tahun bagi perempuan, 25 tahun bagi laki-laki, tapi nanti ada moment yang bikin kita merasa “kok kayanya aku ngga menikmati masa muda ya?” dan masih banyak lagi. Mau agak nantian deh yang penting juga nikah, ya kita harus sadar makin lama makin tua, kasihan juga ngga sih nanti anaknya, even kita punya tabungan yang banyak nih misal buat anak kedepannya. Tapi ya kita tetep harus sadar juga bahwa semuanya ngga bisa kita ukur dengan materi, kan? Ya walaupun ada yang bilang bahwa menikah itu ngga harus punya anak, tapi kembali lagi, semua ada kelebihan dan kekurangannya. Mungkin kelebihannya kita bisa menikmati moment berdua nih antara suami dan juga istri, kekurangannya ya kita harus sadar antara suami dan istri ini ngga selamanya akan kuat. Oke, ada panti asuhan, kita bisa ambil anak dari sana, tapi hakikatnya sebagai seorang perempuan kita ngga bisa merasakan dahsyatnya melahirkan itu seperti apa. Oke, ada panti jompo, mendaftarkan diri disana, tapi again kenikmatan paling nikmat adalah ketika kita bisa membangun dan memiliki keluarga kecil itu.
Ada istilah bahwa Gen-Z menjadikan menikah itu adalah sebuah opsi atau yaudah optional aja, nikah ya nikah, nggak ya nggak. Kaya, yang penting kerjaan lancar, bisa ngopi sana sini, liburan juga oke, dan dari sini bisa dibilang aku termasuk kedalam pemikiran Gen-Z itu. Tapi, gini deh, kalo kita connectin ke agama, menikah itu adalah sebuah ibadah, dan gimana cara kita menyempurnakan ibadah kita itu ya dengan cara menikah. Tapi ya lagi-lagi semua itu harus tertata, dan ngga asal-asalan. Contoh deh kembali lagi di point ”semua ada resikonya”, zaman sekarang banyak orang menikah muda tapi ujung-ujungnya mereka cerai, dan kalo misalkan ngga nikah-nikah dengan usia yang udah matangpun, resikonya kita harus siap mental dengan segala pertanyaan kapan yang ngga akan ada habisnya itu.
Dari sini, sedikit yang bisa disimpulkan bahwa hidup ini emang bukan tentang perlombaan guys, yaudah kita jalanin kehidupan ini dengan semestinya, tapi dengan hal ini, jangan juga menjadikan kita menjadi orang yang ogah-ogahan. Tetap, kita harus memiliki planning kedepannya mau gimana, dengan cara ya konsisten, dan jangan lupa juga buat selalu melibatkan Tuhan apapun itu. Kalau misalkan apapun yang sudah kita usahakan ternyata Tuhan berkata lain, yaudah, memang sepantasnya dari awal kita harus menyisihkan ruang kecewa untuk menerima realita yang ada, kan? Tidak perlu menyesali setiap keputusan yang sudah kita ambil, karena sejatinya nasi itu sudah menjadi bubur. Fokus aja dengan hal yang bisa kita kontrol, perbaiki kalo emang ada kesalahan, dan dari sini mungkin bisa membuat kita lebih berpikir lagi untuk mengambil keputusan dan ngga terus-terusan mendengarkan apapun keinginan orang-orang. Ini hidup kita yang jalanin, kalo kita sudah mengambil setiap keputusan, ya harus tanggung jawab dengan keputusan yang sudah kita ambil.
Komentar
Posting Komentar