Penerimaan dan Kesembuhan
Kadang kehidupan ini jadi yang paling dan harus ter
planning banget, tapi kadang juga ya let it flow aja. Jalanin apapun
yang udah terjadi. Proses buat menerima sebuah fakta yang rasanya untuk ikhlas
itu emang berat banget. Beberapa waktu lalu sempat rame di media sosial terkait
dengan seberpengaruh itu buat masuk di top perguruan tinggi. Ya, pointnya itu
yang menjadi bahan overthinking selama ini. Gimana nggak, beberapa kali
udah berusaha nih buat menerima segala realita yang ada, tapi tiba-tiba dibuat
mikir lagi tentang seberpengaruh itu ternyata masuk di top perguruan tinggi. Di
satu sisi era sekarang emang sesusah itu buat cari kerja, ya secara ngga
langsung dengan masuk di top perguruan tinggi itu menjadi salah satu peluang
yang cukup besar. Ya privilege lah ya. Tapi kadang kaya mikir juga, kalau
emang realitanya ngga dapat rezeki untuk masuk di top perguruan tinggi itu, ya
emang harus kita sendiri nih yang bangun privilege di tempat kita saat
ini berjuang. Bangun personal branding sebaik mungkin, emang agak susah, tapi
ya gimana lagi, cuman ini yang bisa kita lakukan. Ada satu quotes yang ngena
banget menurutku ”karena ngga semuanya bisa kita gapai, jadi mari kita
peluk kegagalan-kegagalan itu dengan damai.”
Di blog ini mungkin salah satu topik yang akan menguras
emosi banget. Karena segala kekecewaan, kesedihan, kegembiraan akan aku
tuangkan disini. Di satu sisi aku bahagia dengan kondisiku dan posisiku yang
sekarang, bisa menjadi seorang mahasiswa dengan prodi yang aku impikan dari
dulu. Menjadi anak bontot yang kemana-mana masih dalam pantauan orang tua,
menjadi anak bontot yang ketika kedua kakaknya merasa mereka gagal, maka dia
harus lari sekenceng mungkin buat menggapai keberhasilan itu. Disini aku
berusaha untuk tidak menyalahkan keadaan. Tapi di sisi lain ya ada capeknya
wajar ngga sih? Cape dan bertanya-tanya, kenapa aku harus melewati fase ini. Lagi
ramenya soal film “Home Sweet Loan”, disini terbukti bahwa ngga semua
anak bontot itu mendapatkan privilege orang tua. Kehilangan masa jaya
orang tua bahkan ada yang sampai harus kehilangan peran dan juga wujudnya. Kehilangan
salah satu di antara mereka aja sakitnya udah luar biasa gini. Belum apa-apa,
bahkan mau memulai aja rasanya kaya ngga ada penyemangat. Kadang juga mikir
deh, dari sekian banyaknya rasa sakit, kecewa, dan juga sedih, kenapa harus ada
di fase kehilangan orang tersayang? Tapi ya kadang juga mikir, kaya berarti
harus sedih dulu nih, harus kecewa dulu baru ngerasain yang namanya ada pelangi
setelah badai.
Tapi jujur, selama hampir 21 tahun aku tumbuh, ternyata
kalau apa-apa pasrahnya ke Tuhan itu jawabannya bikin tenang. Aku orangnya ya literally,
ngga bisa tenang, apa-apa panik, apa-apa di pikirin. Tapi, again selalu
berusaha untuk memasrahkan semuanya ke Tuhan, yakin bahwa Tuhan yang punya atas
kuasa di dunia ini. Seperti kejadian akhir Juli lalu, dimana moment yang sangat
ditakutkan terjadi. Setelah melewati fase itu, ya walaupun belum terasa 100%,
tapi finally aku jadi tau bahwa proses ikhlas dan mengikhlaskan itu benar-benar
bisa bikin kita tumbuh dengan versi kita yang lebih kuat, lebih baik lagi. Selain
itu aku menjadi pribadi yang bisa untuk belajar bagaimana proses memaafkan yang
sesungguhnya. Lebih ke yaudah namanya juga keadaan, namanya juga hidup di
dunia. “Berarti kaya pasrah banget ya?” Ya ngga dong, cuman lebih untuk ngga terlalu
berharap berlebihan aja, lebih ke ikhlas kalo ternyata hal buruk bakalan
terjadi walaupun kita udah berusaha untuk berpikir positive, karena again
kita ngga ada yang tau gimana rencana yang sudah Tuhan rencanakan di hari esok.
Yaudah jalan aja, usaha, doa, dan pasrahkan semuanya. Jujur menjadi anak bontot
dari tiga bersaudara ini aku cukup bangga, ya bukan karena yang katanya “dimanja”
privilege sebagai anak bontot ya. Tapi lebih ke tantangannya sih, dimana
aku harus membangun semuanya sendiri, aku harus mencari dan membuka peluang
sendiri. Seru, asik walaupun ada nangisnya sama Ya Allah Ya Allah, tapi so
far aman. Karena ya emang itu loh namanya proses tumbuh.
Komentar
Posting Komentar